Sumbawa Barat, – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumbawa Barat ternyata belum mendapat kepastian hukum atas kasus dugaan yang menyeret calon wakil Bupati KSB nomor urut empat 4, Aheruddin, SE.,ME. Akibatnya, lembaga penyelengara pemilu tersebut harus dilaporkan ke Bawaslu Provinsi NTB tembusan Bawaslu RI.
” Laporan kita dorong ke sidang etik. Ini agar hukum tidak di putar-putar sehingga berdampak pada kegaduhan di tengah masyarakat,” ungkap Ifan sesaat setelah menyerahkan laporan ke Bawaslu NTB, Selasa, 29/10 siang.
Dalam kasus dugaan Calon Wakil Bupati Nomor Urut 4 itu, KPU dinilainya inkonsisten terhadap keputusan yang telah dibuat sendiri. Padahal sangat jelas dan secara sah yang bersangkutan sudah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai anggota DPRD.
” Namun hingga kini yang bersangkutan masih menjabat sebagai anggota DPRD aktif dan menerima semua fasilitas gaji dan tunjangan. Praktis hal ini juga menunjukan hukum pemilu masih ambigu dan tidak berkekuatan hukum tetap. Padahal sangat jelas, syarat mencalonkan diri sebagai wakil Bupati itu arus dibuktikan dengan surat pengunduran diri, sehingga, mulai tanggal penetapan yang bersangkutan mundur dari jabatannya, dan disahkan namanya sebagai calon wakil Bupati, serta secara otomatis tidak lagi melekat jabatan pada dirinya,” imbuhnya.
Ifan bahkan menganggap surat pengunduran diri sebagai anggota DPRD dari partai Gerindra, atas nama Aheruddin, yang ada di KPU KSB ternyata hanya menjadi formalitas semata yang tidak mempunyai nilai sebagai syarat mundur dari jabatan. Sebab yang bersangkutan masih merajalela aktif sebagai DPRD dan masih menerima tunjangan gaji dan fasilitas lainnya.
Anehnya tambah dia, Bawaslu KSB justru berpendapat bahwa kasus tersebut tidak memenuhi unsur kesalahan administratif, dan akan coba dikaji ke arah Pidana. Padahal jelas masuknya unsur pidana kasus tersebut dimulai dari kesalahan administrasi. Apalagi surat pengunduran diri Aheruddin sebagai anggota DPRD ke KPU sebagai syarat maju sebagai wakil Bupati tidak bisa ditarik dengan alasan apapun.
“Atas dasar surat pengunduran diri tersebut, seharusnya yang bersangkutan sadar bahwa dirinya sudah tidak berhak mendapat fasilitas apapun, karena sudah dituangkan dalam aturan PKPU dan undang-undang Pemilu,” tegas Ifan.
Ketika KPU dan Bawaslu lanjut Ifan mengetahui yang bersangkutan telah menerima tunjangan dan gaji dari jabatan yang ditinggalkan sebelumnya (DPRD, red), maka melalui proses itu pula administrasi yang bersangkutan dipersoalkan dan digagalkan status pencalonannya.
“ Ini sangat Ambigu, sudah dinyatakan mundur dari jabatan sebagai syarat pencalonan tapi di tengah perjalanan justru masih aktif sebagai anggota DPRD, Berkantor, masuk pula namanya ke dalam SK AKD bahkan menerima semua fasilitas gaji dan tunjangan. Parahnya, terdaftar juga namanya mendapat izin kampanye sebagai anggota DPRD sekaligus menjadi Calon wakil Bupati, sangat tidak masuk akal, untuk itu kasus ini sangat perlu diseret ke sidang etik,” tutup Ifan, heran. (**)