Mataram — Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2KBP3A) Kabupaten Sumbawa Barat, Agus Purnawan, S.Pi., M.M, menjadi narasumber dalam kegiatan dialog publik dan diseminasi penelitian terkait situasi kekerasan berbasis gender di kawasan industri ekstraktif. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada 15 Desember 2025 di Lombok Raya Hotel dan diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK NTB.
Dialog publik ini bertujuan untuk membuka ruang diskusi lintas sektor mengenai persoalan kekerasan berbasis gender yang masih marak terjadi, khususnya di wilayah yang terdampak aktivitas industri ekstraktif. Kegiatan tersebut dihadiri oleh perwakilan pemerintah daerah, akademisi, aktivis perempuan, organisasi masyarakat sipil, serta pemerhati isu hak asasi manusia.
Dalam pemaparannya, Agus Purnawan menjelaskan bahwa kekerasan berbasis gender merupakan fenomena kebudayaan yang dikonstruksi oleh berbagai variabel, mulai dari sistem sosial, budaya, hingga hukum. Menurutnya, kekerasan ini mencakup berbagai tindakan yang membahayakan fisik, seksual, dan psikologis yang dilakukan dengan paksaan, serta berakar pada relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan.
Ia menegaskan bahwa perempuan dan anak perempuan merupakan kelompok yang paling rentan mengalami kekerasan berbasis gender, baik di ranah domestik maupun di ruang publik. Kondisi tersebut semakin kompleks ketika terjadi di kawasan industri ekstraktif, di mana perubahan sosial dan ekonomi sering kali tidak diiringi dengan perlindungan yang memadai bagi kelompok rentan.
Lebih lanjut, Agus Purnawan menyampaikan bahwa dampak kekerasan berbasis gender tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga meninggalkan trauma psikologis yang mendalam. Korban kerap mengalami penurunan kepercayaan diri, gangguan kesehatan mental, serta kehilangan rasa aman dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Selain itu, kekerasan berbasis gender juga berdampak pada terhambatnya partisipasi korban dalam pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Banyak korban yang akhirnya terputus dari akses pendidikan dan kehilangan kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidupnya akibat stigma dan tekanan sosial.
“Kekerasan berbasis gender bukanlah urusan pribadi semata, melainkan persoalan bersama yang harus dicegah dan diselesaikan secara kolektif,” tegas Agus. Ia menilai bahwa negara, masyarakat, dan keluarga memiliki tanggung jawab yang sama dalam menciptakan lingkungan yang aman dan adil bagi perempuan dan anak.
Menurutnya, upaya pencegahan kekerasan berbasis gender harus dimulai dari peningkatan kesadaran masyarakat, terutama melalui pendidikan kesetaraan gender sejak usia dini. Pendidikan tersebut dinilai penting untuk membangun cara pandang yang adil dan menghormati hak-hak setiap individu tanpa memandang jenis kelamin.
Selain edukasi, penguatan sistem perlindungan korban juga menjadi hal yang sangat krusial. Agus menekankan pentingnya layanan pendampingan yang mudah diakses, ramah korban, serta didukung oleh regulasi dan penegakan hukum yang berpihak pada keadilan gender.
Ia juga mendorong keberanian korban dan masyarakat untuk bersuara serta melaporkan setiap bentuk kekerasan yang terjadi. Menurutnya, budaya diam dan takut justru memperpanjang siklus kekerasan dan menghambat upaya penanganan secara menyeluruh.
Kegiatan dialog publik dan diseminasi penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam memperkuat sinergi antara pemerintah, lembaga hukum, dan masyarakat sipil untuk bersama-sama mencegah dan menanggulangi kekerasan berbasis gender, khususnya di kawasan industri ekstraktif di Nusa Tenggara Barat. (JR).
